Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama. Dan ada satu lagi yang meninggalkan nama, yaitu uang. Sejak puluhan tahun silam, satu demi satu mata uang hanya meninggalkan nama. Semua tinggal nama sejak daun-daun berguguran. Kemudian daun-daun itu berserakan disapu oleh angin.
Sebagian manusia mengajak manusia lain untuk memungutinya. Maka daun-daun itu diperlakukan seperti uang. Itulah tipu daya lembaran uang kertas yang bernilai semu. Di dunia gaib, orang-orang yang berbelanja menggunakan itu sama artinya dengan membayar menggunakan daun. Setiap hari menukar barang berharga dengan daun-daun yang berserakan.
Daun-daun diumpamakan bagai uang kertas yang dapat dicetak sebanyak-banyaknya. Jumlahnya terus bertambah seperti daun-daun berguguran di pohon yang rimbun. Dari sanalah orang-orang berangan-angan untuk memiliki pohon uang. Dengan begitu, sang pemilih pohon dapat memetik daun-daun untuk ditukar dengan makanan, minuman, pakaian, dan segala sesuatu yang diinginkan. Bukankah lebih baik memiliki pohon buah-buahan, ketika musim panen, buahnya dapat ditukar dengan uang logam.
Nama-nama mata uang yang beredar sekarang ini berasal dari nama-nama mata yang digunakan sejak dahulu kala. Contohnya Gulden yang berarti emas dalam bahasa Belanda, dan Rupiah artinya perak dalam bahasa Mongol. Kini, mereka semua tinggal nama, hanya nama yang ditulis di atas permukaan kertas bergambar yang nilainya seperti daun-daun berguguran.
Tak terbayangkan apa tanggapan nenek moyang kita kalau mereka mengerti bahasa kita. Misalnya saja seorang pedagang menawarkan makanan dengan menyebutkan harga 5.000 perak. Nenek moyang akan terkejut ketika mendengarnya. Mahal sekali harga makanan itu. Nenek moyang akan mengira bahwa makanan lebih berharga dari perak karena keturunannya sedang mengalami pralaya. Namun, nenek moyang akan terkejut ketika melihat pembeli membayar penjual dengan kertas bergambar. Itu bukan kertas yang terbuat dari perak, hanya kertas biasa.
Setelah uang kertas yang bernilai semu, maka terbitlah uang hampa. Yang tampak hanya berupa deretan angka-angka di layar kaca. Pangkalnya dari tempat penitipan uang yang disebut BANK. Untuk memudahkan pembayaran, maka disediakan selembar daun tebal yang diberi nama kartu ATM dan kartu kredit. Uang hampa lebih berbahaya dari uang kertas, karena uang hampa bisa membuat orang kaya mendadak menjadi orang yang serba kekurangan.
Uang hampa semakin berkembang, bahkan tanpa campur tangan siapapun. Sebut saja namanya Bit Coin dan Ethereum. Begitu banyak orang yang mengumpulkan kekayaan semu. Sekarang mulai banyak orang-orang yang membayar barang dengan kehampaan. Namun mereka lupa untuk menukar kehampaan itu dengan kenyataan.
Hampir seperti pelaku pesugihan hitam. Kekayaan yang dia dapatkan memang nyata adanya, berupa emas dan perak. Namun itu hanya pinjaman dari siluman yang memberikan uang itu. Pada suatu ketika, kekayaan itu akan lenyap diambil kembali oleh sosok yang memberikannya. Hampir sama seperti simpanan yang dibekukan oleh Bank.
Akan tiba masanya, kekayaan semu dan kekayaan hampa segera sirna. Kekayaan sejati akan datang kembali. Kemudian, orang-orang akan kembali menggunakan logam mulia dan batu mulia untuk berniaga. Itulah satu-satunya mata uang yang berlaku di dunia manusia dan di dunia gaib. Nama-nama mata uang itu pun akan kembali kepada pemiliknya yang asli.
Sang Pencipta Jagad Raya sudah menuliskan takdir, bahwa emas dan perak adalah mata uang yang berlaku sejak dahulu kala hingga datangnya mahapralaya.
Comments
Post a Comment